Review Buku "Jungle Child: Rinduku pada Rimba Papua"

April 09, 2017

Saya menemukan buku ini secara tidak sengaja saat sedang berusaha mencari bacaan yang menarik di Perpustakaan Daerah Kuningan. Ketika melihat covernya, saya langsung memutuskan untuk meminjam dan membawanya pulang. Terutama karena di cover tersebut terdapat tulisan "Jungle Child: Rinduku pada Rimba Papua." Buku ini terpilih untuk ditulis resensinya karena walaupun bukan termasuk buku catatan perjalanan, tapi buku ini mengisahkan perjalanan hidup yang sarat makna #disclaimer (review buku yang lain silakan klik di sini). Buku ini terbit pertama kali tahun 2005 dan ditulis dalam Bahasa Jerman. Pada tahun 2011, kisahnya diangkat menjadi film.

Ketertarikan saya terhadap Papua sebenarnya sudah cukup lama, yaitu sejak berkawan dengan seorang anak Papua di jurusan saya saat kuliah S1. Teman tersebut adalah seorang gadis Papua yang cerdas dan enak diajak ngobrol. Karena selama satu semester menjadi teman satu kelompok, saya menjadi cukup akrab dengannya. Kami terbiasa mengobrol tentang masalah politik di Papua dan Indonesia. Di berbagai diskusi dalam perkuliahan, kawan saya ini selalu berusaha berpendapat bahwa Indonesia adalah penjajah di Papua. Pernah suatu kali, seorang dosen yang agak narsistic membantah dia, mengatakan bahwa pembunuhan dan kekerasan militer tidak hanya terjadi di Papua, jadi tidak usahlah orang Papua terlalu membesar-besarkan. -_-

Beberapa hari kemudian teman saya itu menunjukkan beberapa dokumen yang isinya laporan yang ditulis sebuah lembaga di Australia tentang bukti-bukti kekejaman militer Indonesia di Papua. Saya percaya kawan, sungguh saya percaya padamu. Saya mempercayainya bukan hanya karena dokumen-dokumen yang dia bawa, tapi juga dari hasil riset saya sendiri. Kata-kata kawan saya yang paling memilukan kepada saya adalah ketika dia berkata "Kamu lihat kulit kami, kalian menganggap kami binatang..kami bukan Indonesia." Hingga bertahun-tahun kemudian, saya berkesempatan beberapa kali mengunjungi Papua untuk urusan pekerjaan. Semakinlah saya jatuh hati pada Papua. 

Kembali ke Jungle Child, ini adalah buku yang ditulis oleh Sabine Kuegler, anak seorang pasangan misionaris Jerman yang pernah tinggal di hutan rimba Papua bersama orang tua dan dua saudaranya selama 10 tahun. Sabine pertama kali menginjak tanah Papua ketika berumur 7 tahun, setelah sebelumnya tinggal di pedalaman Nepal sejak dilahirkan. Jadi walaupun berkebangsaan Jerman, Sabine tidak pernah merasa sebagai bagian utuh dari negara adidaya Eropa tersebut.

Gambar dari www.goodreads.com
Keluarga Kuegler tidak tinggal di Jayapura atau kota lain di Papua, tapi benar-benar di tengah rimba bersama sebuah suku yang sebelumnya tidak pernah melakukan kontak dengan dunia luar, yaitu suku Fayu. Orangtuanya dikirim ke sana untuk mempelajari Bahasa Fayu serta untuk memperkenalkan pesan damai agama Kristen. Sabine, Judith (kakaknya) dan Christian (adik Sabine) tumbuh besar di tengah rimba bersama anak-anak suku Fayu, berenang di sungai, belajar memakan cacing dan larva serangga, sangat menyukai daging ular dan buaya, serta mahir menggunakan busur dan panah. 

Dalam buku ini Sabine menuliskan berbagai pengalaman hidupnya sekaligus pergulatan hati seorang anak kecil menyaksikan salah satu kehidupan paling tertutup di dunia saat itu. Suku Fayu sendiri adalah suku yang gemar berperang, kanibal dan seolah tidak pernah mengenal cinta di antara mereka. Sabine kecil telah menyaksikan peperangan antar suku yang menyebabkan pertumpahan darah, suami yang memanah istrinya yang sedang hamil, dan sebagainya. Namun Sabine dan keluarganya juga menemukan berbagai pelajaran berharga saat berinteraksi dengan Suku Fayu, hingga akhirnya keluarga Kuegler menganggap mereka sebagai "keluarganya" di tengah rimba. Hingga saat ini setelah kembali ke Jerman dan hidup di dunia Barat, Sabine tidak pernah melupakan rimba Papua dan tetap menganggapnya rumah. Pada tahun-tahun awal Sabine kembali ke Eropa, dia merasa terperangkap di antara dua dunia dan merasa Eropa bukanlah rumahnya. Kekalutan itu membawanya ke sebuah percobaan bunuh diri yang untungnya gagal. Akhirnya Sabine bangkit dan menerima bahwa kehidupannya di hutan Papua dan kehidupannya di Eropa sama-sama nyata dan merupakan bagian penting yang membentuk dirinya. 

Buku ini memperkenalkan saya pada bagaimana kehidupan para misionaris-misionaris yang rela meninggalkan segala kemewahan Eropa demi sebuah pesan damai. Yang paling saya ingat adalah perkataan Peter-Klaus Kuegler, Ayah Sabine, ketika meminta izin kepada ketua suku Fayu yang paling berpengaruh untuk tinggal di dekat desa Fayu bersama keluarganya. Dia berkata, "kami datang tidak untuk mengatur. Kami datang untuk melayani." Dan memang itulah yang mereka lakukan: melayani. Ketika ada orang Fayu yang sakit, keluarga Kuegler membantu. Bahkan ketika halaman rumah mereka dijadikan tempat berperang dan Judith mengalami trauma dan menjerit-jerit, Peter-Klaus tidak berusaha menghentikan perang namun berlari ke tengah-tengah arena dan mengatakan "Jika kalian ingin berperang, lakukan di tempat lain, jangan di depan rumahku." 

Kehadiran keluarga Kuegler di antara suku Fayu tentu tidak serta-merta mengubah mereka menjadi beradab, namun sedikit demi sedikit pesan damai tersebut mulai menyebar di antara mereka. Bukan, bukan secara langsung tentang Jesus dan segala ritual keagamaannya, tapi sesederhana bagaimana bisa hidup damai di desa mereka, di keluarga mereka. Sabine pernah mendapatkan pertanyaan, "mengapa kalian tidak membiarkan Suku Fayu hidup damai di surga mereka yang tidak mengenal kehidupan luar?" Sabine menjawab, bahwa kehidupan saling membunuh yang penuh ketakutan dan pertumpahan darah bukanlah sebuah surga. Pertanyaan yang sama sering muncul di benak saya. Tidakkah sebaiknya suku-suku tersebut dibiarkan saja? Apa perlunya bagi mereka mengenal kebudayaan luar yang katanya beradab? Yang ternyata di kemudian hari hanya membawa petaka sejenis pertambangan yang akhirnya membuat orang-orang asli tersingkir, dan lain-lain. Sungguh pertanyan yang dilematis. 
 
Kisah keluarga Kuegler yang berprinsip melayani menunjukkan bahwa siapapun, seprimitif apapun orang tersebut, kita tetaplah harus menghargai mereka, kebudayaannya, kepercayaannya, bahasanya, kebiasaannya. Sungguh dalam hal ini, para misionaris Kristen memang luar biasa, tekad mereka sangat kuat. Tidak mengherankan jika akhirnya daerah-daerah pedalaman di Timur Indonesia ini penduduknya mayoritas beragama Kristen. Dari sini sungguh saya semakin menemukan bahwa niat apapun, baik itu terkait agama, sosial, politik, ekonomi, harus selalu menempatkan "respek" sebagai hal utama. Jika saja pemerintah Indonesia memperlakukan orang Papua dengan penuh hormat seperti para misionaris tersebut, mungkin berbagai tuntutan untuk merdeka dan ketidakpuasan bisa sedikit teredam dan terobati, dan kawan saya itu hidupnya bisa lebih berbahagia. Andai saja.

Beberapa bulan lalu, saya kembali mendengar kabar tentang si Kawan Papua. Setelah menyelesaikan S2 di Jakarta, dia kembali ke kota asalnya di Nabire dan bekerja untuk pemerintah daerah. Sempat menulis buku, hingga akhirnya dia memilih untuk memperjuangkan nasib bangsanya, menjadi negosiator International Forum for West Papua. Kawan, ilmu diplomasi yang kau pelajari dulu ternyata sungguh berguna ya. Kami mendoakan yang terbaik untukmu, apapun hasilnya..

You Might Also Like

0 comments