Perjalanan-perjalanan bernama "pergi sekolah"

September 07, 2016

“Merantaulah, kau akan mendapat pengganti kerabat dan teman. Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang. (Imam Syafii)”

Untuk memenuhi minggu tema #1minggu1cerita, saya ingin bercerita sedikit tentang perjalanan-perjalanan yang bernama "pergi sekolah". Kenapa segitunya "pergi sekolah" disebut sebuah perjalanan? Karena memang begitulah artinya bagi saya, tentu selain sekolah untuk menuntut ilmu.

Waktu pertama kali harus masuk taman kanak-kanak di usia 4 tahunan, alasan orang tua saya sederhana saja: karena di rumah tidak ada yang menjaga. Pekerjaan ibu saya sebagai guru mewajibkannya setiap hari mengajar di sekolah menengah pertama di pusat kota Kabupaten Kuningan. Karena keputusan itu, jadilah saya harus menempuh perjalanan rutin saya yang pertama: dari rumah ke TK. Rumah kami kebetulan lumayan jauh dari TK yang tepat berada di seberang sekolah menengah tempat mamah mengajar. Cukup praktis bagi mamah, karena bisa sekalian nge-drop saya dan kakak (saat itu berumur 6 tahun di TK yang sama).

Namun sesungguhnya perjalanan menuju TK setiap hari itu bagi saya adalah sebuah perjalanan panjang. Ketika berangkat, kami harus ganti angkutan umum satu kali. Pertama dari gang dekat rumah dengan "mobil koneng", angkutan pedesaan, menuju Pasar Baru, pusat segala angkot di kota. Dari Pasar Baru, kami harus naik angkot 01 yang melewati pusat kota, TK saya, serta sekolah mamah. Jika berangkat dengan angkutan umum harus ditempuh kira-kira 30 menit, pulang dari TK saya harus naik mobil antar-jemput TK. Karena rumah saya dianggap dekat dengan rumah sopir, biasanya saya diantarkan terakhir, setelah semua teman-teman diantar pulang. Lumayan juga..bisa dua jam lebih saya terkantuk-kantuk di mobil TK. Karena selalu diantar pulang terakhir, saya jadi mengalami berbagai hal yang agak luar biasa bagi anak TK, seperti: kecelakaan. Suatu hari sang sopir sangat mengantuk hingga menabrak mobil yang sedang parkir di tepi jalan. Kepala saya yang saat itu duduk di samping Pak Sopir, membentur dashboard hingga benjol.

Anak-anak Unjat jalan-jalan ke Garut
Ketika masuk SD, orang tua saya memasukkan saya ke SD di mana para sepupu dan dua kakak saya bersekolah, walaupun agak jauh dari rumah. Saya harus berjalan kaki kurang lebih 20 menit dari rumah menuju SD. Tidak ada drama harus menyeberang sungai dan lewati gunung sih..hanya harus melewati jalan raya desa yang cukup ramai. Walaupun ada angkutan pedesaan yang melewati jalan ini, tapi anak-anak SD terbiasa berjalan kaki. Di jalan ini, selama enam tahun saya melewati rumah yang sama, orang-orang yang sama, plus berbagai intriknya. Di jalan ini saya pernah bertarung hebat dengan anak laki-laki SD tetangga yang senang membully. Pertarungan dimenangkan oleh saya karena memiliki senjata andalan: ikat pinggang :D. Setelah kejadian itu, si anak tukang bully berhenti mengganggu saya dan teman-teman.

Waktu orang tua saya harus pindah rumah sementara ke Cirebon, sekolah saya tidak ikut pindah. Dari daerah Klayan, Cirebon, saya dan mamah berangkat pagi-pagi menuju Kuningan, menempuh perjalanan demi pergi sekolah. Seringkali saya sampai di sekolah lebih dari jam 7.30, yang membuat saya malu dan menangis terisak-isak karena terlambat -_-. Untung perjalanan Cirebon-Kuningan untuk pergi sekolah tersebut tidak berlangsung lama.

Lalu tiba saatnya saya harus melanjutkan ke sekolah menengah pertama. Selain perjalanan yang harus menempuh jarak, perpindahan dari SD ke SMP ini juga memaksa saya keluar dari zona nyaman. Saya menjadi satu-satunya siswa dari SD kami yang melanjutkan ke SMP yang termasuk unggulan di kabupaten. Sedih..karena harus berpisah dengan sahabat-sahabat. Lebih sedih lagi karena sahabat saya di SD tidak bisa melanjutkan sekolah karena alasan biaya. Sempat terpikir untuk mengumpulkan dana agar teman saya bisa sekolah, tapi apalah daya..baru lulus SD dengan kemampuan terbatas. Selain kesedihan berpisah dari kawan dan sahabat di SD, muncul juga kekhawatiran, bagaimana jika saya tidak bisa menemukan teman yang asyik di SMP. Sebagai satu-satunya siswa dari SD kampung ke SMP di pusat kota kabupaten, tentu saya jiper. Walaupun kemudian, kekhawatiran tersebut tidak terbukti. Saya menemukan kawan dan sahabat baru tanpa kesulitan.

Menjelang masuk SMA, kegalauan kembali melanda, karena kali ini saya akan melanjutkan SMA di Bandung. Yak benar..dari kota kabupaten Kuningan yang mungil, harus merantau ke SMA yang katanya unggulan di ibu kota provinsi. Lagi-lagi, sindrom anak kampung yang rendah diri muncul. Lagi-lagi, saya saat itu satu-satunya dari SMP saya yang melanjutkan SMA ke sana. Penyesuaian tempat tinggal, mencari teman baru, dan lain-lain, harus kembali saya lakukan. Perubahan besar lainnya, perjalanan melanjutkan sekolah ke Bandung ini mengharuskan saya tinggal sendirian di kosan. Yes..pertama kalinya saya jadi anak kos waktu di kelas 1 SMA. Walaupun mamah saya sudah menyiapkan segala keperluan, termasuk jasa katering makanan, homesick dan kesepian tak terhindarkan. Untungnya, saya berhasil bangkit tanpa stress atau depresi berlebihan. Perjalanan Kuningan-Bandung dengan travel 4848 atau bus Damri dan Bhinneka menjadi kegiatan rutin bulanan. Awalnya mudik ke Kuningan setiap minggu. Lalu jadi tiap bulan, lalu terus berkurang seiring waktu. Tapi jika saya tidak pulang, mamah saya yang datang berkunjung.

Bersama teman-teman satu kos dari SMA
Saat tinggal di kosan masa SMA inilah, saya merasa benar-benar menemukan pengganti saudara dan sahabat. Merekalah orang-orang terdekat yang pertama kali saya datangi jika saya sakit, ada keperluan, atau ga punya makanan :D. Beberapa di antaranya menjadi sahabat dekat saya hingga saat ini.

Lalu menginjak masa kuliah, saya merasa sedih harus pindah dari pusat kota Bandung ke Jatinangor, plus sedih karena berpisah dengan kawan-kawan kosan dan sahabat di SMA. Lagi-lagi, life must go on. Tidak berapa lama, saya yang aslinya memang dari kampung ini, bisa kerasan di Jatinangor. Teman-teman terbaik saya temukan di kampung yang berdebu dilewati truk dan bus antar kota ini. Ngobrol sampe bego, jalan-jalan eksplorasi alam, baca novel semalaman, nongkrong di rental komputer sampai tengah malam demi tugas, dan lain-lain mewarnai kehidupan saya di Jatinangor. Hingga akhirnya masa-masa yang menyenangkan itu harus berakhir, agar saya tidak terus-terusan membebani orang tua dengan biaya hidup dan biaya kuliah. Saya lulus setelah kuliah selama 4 tahun 8 bulan, kemudian menjadi pengangguran terselubung yang galau..hehe..

Setelah lima tahun lulus dari kampus Universitas Jatinangor dan bekerja, saya mendapat kesempatan untuk melanjutkan perjalanan lain: sekolah lagi. Butuh waktu lama untuk menuju ke tahap ini karena memang banyak pertimbangan yang harus dipikirkan. Mulai dari faktor biaya (saya tidak tega meminta orang tua untuk membayar S2 saya), pekerjaan, kesempatan beasiswa, keluarga kecil saya (ketika kemudian saya menikah dan punya anak), dan lain-lain. Namun jelas, bahwa "pergi sekolah" kali inipun berarti perjalanan baru yang panjang, jauh ke seberang lautan, berliku, dan penuh dengan jatuh bangun.

Nah jika ada yang bertanya apa arti sekolah bagi saya? Artinya adalah perjalanan..perjalanan yang membawa saya bertemu tempat baru, orang-orang baru, pengetahuan baru, hidup baru, pengalaman baru. Bahkan seringkali saya merasa, bahwa pengalaman-pengalaman itulah yang paling membentuk saya hingga saat ini.


You Might Also Like

6 comments

  1. Sekolah yang panjang, sampai ke luar negeri pula ya. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya....saking panjangnya udah umur segini masih wae sekolah.. haha

      Delete
  2. Hebat mbaaa sekolahnya jauh2 bner.. Ga cape mba sekolah mulu?hehehe

    Perjalananny ganti gitu ga sekolah lagi :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya..abisnya suka sawang sinawang...lagi sekolah, pengen kerja. Lagi kerja, suka pengen sekolah..haha

      Delete
  3. Dari Kuningan...
    Untung Gak Masuk analis, nanti gak sepanjang ini perginya
    Hehehehe....

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ih..mau masuk pun mungkin ga bisa teh..da ga bisa mata pelajaran eksak tea -_-

      Delete