Menyambangi Rumah Multatuli alias Eduard Douwes Dekker

September 14, 2016

Mumpung masih belum jauh dari bulan Agustus yang penuh dengan semangat peringatan kemerdekaan Indonesia yang ke-71, mau berbagi cerita tentang kunjungan kami ke Museum Multatuli alias Eduard Douwes Dekker di Amsterdam, Negeri Belanda.


Saat itu akhir bulan April, cuaca di Amsterdam masih cukup dingin. Kami berjalan menyusuri jalanan yang ramai dengan wisatawan. Walaupun dingin, matahari bersinar cerah menyemarakkan suasana. Hingga sampailah kami di jalan kecil, di depan sebuah rumah kecil dengan spanduk memanjang.

Itulah rumah dimana Eduard Douwes Dekker dilahirkan. Sebuah rumah kanal dari abad ke-17. Untuk masuk ke lantai satu, kami harus naik tangga ke atas. Lantai satunya hanya berupa ruangan sempit penuh buku dan beberapa karya Multatuli. Di bagian depan terdapat satu meja kerja, tempat sang kurator bekerja. Hari itu yang bertugas adalah seorang bapak ramah yang semangat menyambut kami. Mungkin karena saat itu tidak ada pengunjung lain selain kami.

Kami memperkenalkan diri dari Indonesia. Bapak itu lalu menjawab, "Oh so you must be know the works of Multatuli." Lalu si Bapak menunjukkan kami ini dan itu, ada apa di lantai satu, ada apa di lantai dua, dan sebagainya. Menuju lantai dua rumah itu, kami harus melalui tangga yang sempit dan curam. Alif harus saya pegang erat-erat agar tidak terjatuh.

Jadi siapakah Multatuli? Bagi yang lupa, Eduard Douwes Dekker lahir di Amsterdam pada 2 Maret 1820. Ayahnya adalah seorang kapten kapal yang mengharapkan sang anak berkarir di dunia perdagangan. Seorang kakak Douwes Dekker yang bernama Jan Douwes Dekker, adalah kakek dari Ernest Douwes Dekker yang kemudian ganti nama menjadi Danudirdja Setiabudi, pahlawan nasional yang namanya diabadikan jadi nama jalan di beberapa kota di Indonesia (siapa tidak mengenal Jl. Setiabudi di Bandung?).

Pada tahun 1838, Edward Douwes Dekker mendapatkan posisi pegawai negeri untuk ditempatkan di Jawa. Dalam periode 1848-1851, Douwes Dekker pernah menjadi asisten residen di Natal (Sumatera Utara), Manado, dan Ambon (Wikipedia). Tahun 1857, dia dipindahkan ke Lebak, daerah karesidenan Bantam (Banten) di Jawa. Hingga saat itu, Douwes Dekker telah sangat mengenal praktek-praktek dalam sistem administrasi pemerintahan kolonial dan mulai memprotes penindasan kolonial (yang bekerja sama dengan kaum feodal lokal) terhadap warga pribumi secara terbuka. Akibatnya, dia diancam akan dipecat karena keberaniannya berbicara. Akhirnya Douwes Dekker mengundurkan diri dan kembali ke Belanda (Wikipedia).

Sejak kembali ke Belanda, dia merasa harus menceritakan kepada dunia tentang skandal kolonial yang dia saksikan di Lebak, Banten. Dia mulai menuliskannya dalam bentuk pamflet dan artikel koran. Namun publik baru menyadari protesnya ketika pada tahun 1860 Douwes Dekker menerbitkan Max Havelaar, dengan nama pena Multatuli, dari bahasa latin multa tuli, yang artinya "aku telah banyak menderita." Max Havelaar mengisahkan tentang betapa korupnya sistem pemerintahan kolonial dan birokrasi lokal (Bupati) yang bekerja sama menindas rakyat pribumi Lebak (historia.id). Buku Max Havelaar inilah yang kemudian dianggap sebagai salah satu buku yang ampuh mengakhiri praktek kolonialisme di dunia serta dianggap sebagai salah satu the most powerful book in history. Keren kan? Hayoo..sudah pada baca belum? :D

Mulai 1861, Douwes Dekker mulai menulis karya sastra, hingga menulis naskah untuk drama yang dipentaskan. Selanjutnya Douwes Dekker pindah dari Belanda ke tepian sungai Rhein, di Ingelheim (Jerman) hingga meninggal di Nieder Ingelheim tahun 1887.

Sofa merah tempat Multatuli menghembuskan nafas terakhirnya
Lalu kembali ke Multatuli Museum di Amsterdam, rumah kecil dua lantai ini sempit dengan langit-langit pendek, khas rumah-rumah Belanda abad 17. Apa waktu itu memang orang Belanda pendek-pendek ya? Di sana kami melihat meubel (tempat tidur, sofa, meja kerja, dan sebagainya) yang pernah dia pakai, alat makan, buku-buku koleksi perpustakaannya, serta semua hasil karyanya dan terjemahannya dalam berbagai bahasa. Sofa merah tempat Douwes Dekker menghembuskan nafas terakhirnya di tepian sungai Rhein, juga bisa dilihat di museum ini. Di beberapa sudut, terpajang foto-foto keluarga Multatuli di dinding. Terdapat juga fasilitas audiovisual yang bisa membantu pengunjung untuk memahami kisah hidup dan karya-karyanya. Museum ini dikelola oleh Multatuli Society. 

Dengan karya-karyanya, Multatuli dianggap sebagai salah satu tokoh yang berpengaruh khususnya dalam politik kolonial di Negeri Belanda, serta dianggap sebagai seseorang yang memberikan landasan bagi sosialisme dan menjadi dasar bagi pelaksanaan politik etis di Hindia Belanda (historia.id).

Buku Max Havelaar sendiri baru diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia pada tahun 1972 oleh HB Jassin. Ironis ya? Bangsa Indonesia baru mengenal buku yang berpengaruh mengakhiri penjajahan di nusantara satu abad kemudian. Novel ini pada tahun 1976 diadaptasi menjadi film layar lebar sebagai bagian dari kemitraan antara Belanda dan Indonesia. Namun filmnya dilarang tayang di Indonesia oleh rezim Orde Baru. Alasan pelarangannya karena menurut pemerintah Orde Baru dan tokoh-tokoh Banten saat itu, film Max Havelaar menampilkan rakyat Banten yang tertindas dan tidak bisa membela dirinya sendiri. Tahun 1987, Max Havelaar boleh tayang walaupun hanya sebentar  (historia.id).

Hingga saat ini, apa yang ditulis Multatuli dalam Max Havelaar masih sangat relevan. Hampir tidak ada perubahan situasi yang signifikan, apalagi setelah Indonesia memasuki era otonomi daerah. Kaum feodal lokal yang menjelma menjadi para kepala daerah di banyak kota/kabupaten bekerja sama dengan kekuatan modal, lokal maupun asing, untuk menindas rakyat kecil. Apakah bangsa ini memang tidak pernah belajar dari sejarah?

Multatuli House
Address
Korsjesportsteeg 20
1015 AR Amsterdam
(5 minutes walk from Central Station)
Admission fee: free

E-mail dan phone
info@multatuli-huis.nl
(+ 31) 020-6381938


You Might Also Like

12 comments

  1. Asoy geboy nih jalan-jalannya Tatat. Iri!

    ReplyDelete
  2. Udah lama gak belajar sejarah...nyaris lupa mbak hehehe

    ReplyDelete
  3. Apakah bangsa ini memang tidak pernah belajar dari sejarah?

    :(

    ReplyDelete
  4. Aku suka ketuker mba bedain eduard sama ernest

    ReplyDelete
    Replies
    1. Akupun dulu suka ketuker...hehehe... Makasih sudah mampir :)

      Delete
  5. Tempat Saya kerja di Jalan Setiabudhi - Bandung....
    *Gak nanya yaaah...
    Tapi jadi tahu nih, terima kasih

    ReplyDelete
  6. semacam baca pelajaran sejarah nih :D
    asik ya tehhh jalan2 ajah :D

    ReplyDelete