Wisata Kuliner Gang Gloria, Jakarta

September 18, 2016

Jakarta tak akan pernah kehilangan cerita. Dari sejarah panjangnya hingga Gubernurnya yang hebat (ups). Kali ini saya dan keluarga akan mengajak anda berkelana dan mencicipi santapan kuliner khas Gang Gloria, Jakarta.


Berawal dari roda kereta yang membawa kami ke Stasiun Beos Jakarta Kota, Suami yang mengajak kami bingung kemana arah tujuan. Si Sulung yang kebetulan ikut, apalagi. Jadilah kami pergi mengikuti kaki melangkah keluar stasiun, hingga suami akhirnya bilang,
“Yuk ke Gang Gloria.... ”
“Hah? Gang Gloria?..”
“Ayo sudah...”

Dan kami bertiga pun diguncang mikrolet menuju Palmerah, Pinangsia, Jakarta Pusat. Ke arah Gang Gloria. 

***

Saya sendiri tidak tahu benar soal apa gerangan itu Gang Gloria. Maklum, puluhan tahun di Jakarta jejak langkah ini cuma sebatas selatan Jakarta. Kalaupun pernah ke lokasi itu, pasti hanya lewat. Itupun yang dituju Pasar Petak Sembilan atau Klentengnya saat Imlek datang.

Nah ancer-ancer menuju Gang Gloria adalah Pusat Elektronik Glodok. Letaknya tak jauh dari Stasiun Beos, Gang Gloria berada di sebelah kanan jalan dari arah stasiun tersebut. Bila datang dari arah Harmonie, ia ada di sebelah kiri jalan. Dengan moda transportasi Mikrolet tinggal bilang mau turun di Palmerah, Pinangsia.

Di sepanjang jalan menuju Gang Gloria, di Jalan Pancoran itu, mengalir sungai Ciliwung dengan bantaran yang ramai oleh toko dan hotel-hotel bintang dua. Jalan menuju Gang Gloria membawa kita masuk ke sebuah Pecinan kecil. Perjalanan tersebut seakan meneguhkan sejarah orang Tionghoa yang sudah ada sejak jaman Kolonial, bahkan jauh sebelumnya. Ada senyum di kanan-kiri jalan, juga obral harga hadiah untuk leluhur. Aroma Hio, nuansa Ong (baca:merah), dan pakanan khas Imlek yang seakan menetap cukup lama. Berjalan menuju Gang Gloria membuat kita bagai diseret melintasi masa silam, masa saat imigran Tionghoa mulai menetap di Batavia.



Sejurus dengan mata menuju gerangan Gang Gloria, menunjuk sebuah rumah makan. Adalah Rujak Shanghai yang memanggil kami pada kali pertama menuju Gang Gloria.

Si penjual bercerita sambil kami berlalu, seperti ini:
"Shanghai sendiri bukan nama kota atau asal si pembuatnya. Shanghai diambil dari nama lokasi Ibunda Ahung (baca:penjual) biasa menjual rujaknya di bioskop Shanghai, Jakarta. Jangan juga dibayangkan ada ulekan kacang halus, cabe rawit, atau buah-buahan yang sering kita lihat. Anda bayangkan, sotong, lobak, ubur-ubur kering dan kangkung dalam satu piring, kemudian disiram dengan kuah sagu asem manis warna merah. Kacang yang gerus kasar, jadi taburan diatasnya." 

Penasaran seperti apa rasanya? Kalau anda penikmat kikil dan pernah makan kikil, maka rujak Shanghai adalah versi empuknya.




Matahari mulai meninggi, dan rasanya tak afdol bila belum ada nasi masuk ke perut Indonesia ini. Sampai akhirnya suami bilang, “Nah ini dia Gang Gloria..ayo kita makan!”

Dari kiri sampai kanan sepanjang Gang Gloria, kami dikepung bau makanan khas Tiong Hoa. Ada tukang cukur, ragam daging yang jarang kami lihat, bau dupa, cekikan orang-orang tua, gerobak teh liang Medan, dan kaca yang dicoreti aksara Han. Teruslah berjalan di gang sempit itu hingga ujung. Lokasinya tujuan kami mirip Pujasera.


Kami mencoba memesan Kari Lam dengan nasi. Kari sendiri jelas adalah makanan khas India, sementara Lam adalah nama sang pemilik kedai, Alam. Karinya tidak lengket atau begitu kental, agak encer, dan yang cakepnya, kuahnya segar, ga bikin eneg! Ada dua cara makan Kari Lam, dengan nasi (tentunya), dan kedua dengan bihun. Kari ayam dan kari sapinya kudu dijajal. Dagingnya empuk dan rempah-rempahnya bikin ogah pindah dari lidah.

Selain Kari, ada juga Mi Ayam Kangkung, kuahnya kental gurih, mengingatkan saya pada Lomi di Pujasera Jl. Imam Bonjol, Bandung. Mi ayam disajikan dengan kangkung rebus dan tauge. Segar dimakan selagi panas! Belakangan juga saya baru tahu, kalau Mi Ayam Kangkung ini juga membuka cabang di Serpong, Tangerang Selatan.



Oh ya, saat pulang dan mengulang jalan menelusuri Gang Gloria, suami mendongengkan sebuah kedai kopi di Gang Gloria ini. Kedainya tak begitu besar dan di depannya terdapat penjual makanan laut dan nasi campur. Suami yang pernah ke sana menunjukan letak kedai itu dan berujar, “Kedai ini namanya nama Kopi Es Tak Kie. Usianya jauh lebih tua dibandingkan eyang dan mbahnya Gwen, sejak 1927. Bayangkan, 1927, dan dimulai dengan gerobak keliling sekitaran Glodok. Baru pada 1970an, dia pindah kemari. Cuma memang jenis kopinya, robusta, jenis kopi yang perlu ditambahkan pemanis untuk menikmatinya. Nah bukanya, cuma dari Senin sampe Jumat, dan hanya sampai jam satu siang.”

Dia tahu betul saya tidak begitu suka kopi. Ya..setidaknya kalau ada teman atau kerabat bertanya, saya bisa menunjukkan lokasi yang wajib mereka kunjungi itu.



Pernah suatu waktu jam makan siang pada hari kerja saya menyempatkan diri ke Gang Gloria. Khusus mencicipi warung gado-gado yang begitu terkenal, Gado Gado Direksi namanya. Letaknya lebih jauh ke dalam dari arah Pujasera tempat Kari Lam dan Mi Ayam Kangkung tadi. Warung gado-gado ini adalah warung sempit tanpa penyejuk yang cuma punya sedikit tempat duduk.

Orang bilang, karena pelanggannya banyak direksi atau bos-bos Ibukota jadilah ihwal nama Gado Gado Direksi itu berasal. Kebanyakan pelanggannya memesan untuk dimakan di Kantor. Namun kali itu saya mencoba makan di tempat. Rasanya nyam! Sayuran rebus tidak terlalu matang berpadu dengan bumbu kacang yang diulek unik, tidak terlalu terlalu halus. tapi tidak mengurangi sama sekali kenikmatan gado-gado direksi ini. Jadi pantas rasanya bila para direksi kesengsem, mau makan, dan pesan di warung gado-gado itu.
***

Si Sulung, Gwen, memang belum peka betul kalau siang itu bukan hanya sebatas piknik, naik kereta dan keluar dari rumah, tetapi akan dibilang kejam juga kalau kami berdua memaksakan makna lain dari piknik ini hari. Toh dari banyaknya santapan di Gang Gloria, Gwen cuma mau “May cama Es” alias Siomay dan Es Teh Manis. Suami memang bukan orang yang terlalu percaya dengan sengkarut mistis dan seputarnya. Namun dalam perjalanan pulang menuju Stasiun Jakarta Kota, dia bilang, “Pantes ya, Bu.. Gwen akhir-akhir ini mau pake baju Cheongsam...”

Tulisan dibuat untuk #1minggu1cerita.

You Might Also Like

10 comments

  1. Gado-gado Direksi nya menggoda sekali,jadi ingin main ke Gang Gloria :D

    ReplyDelete
  2. Rujak Shanghai... berhasil membuat aku ngacay

    ReplyDelete
  3. rujak sanghaaaaai ~
    duh kapan ke jakarta harus banget ini dicari <3

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sini-sini ajak Pak Ery, Pagi, sama Aksara ke Gang Gloria, Bu Ajeng.. :)

      Delete
  4. haduhhh pengennn.. saya termasuk pecinta jajanan jakarta.. ketoprak terutama huhuhu
    oh iya, berarti mungkin milih gubernur yang paling baru dan ganteng nanti ya? :P

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ketoprak enaaaakkkk!!! #jadilapar

      Hahaha..gubernurnya milih yang mana yaaa?

      Delete
  5. Wah, wah, foto makanannya...bikin laperrr wkwkwk
    Makanan peranakan gitu ya, mirip kayak di Malaysia
    Mau ketawa pas liat Rujak Shanghai, soalnya pas gua ke Shanghai dulu, gua kaga nemuin rujak di sana hehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ahahahaha..iya, makanan peranakan istilah yang tepat!

      Perpaduan lidah asli dengan pribumi. Hmmmm..jadi lapar juga. :))))

      Delete