Sarinah-Bundaran HI dan Car Free Day Jakarta Kini

March 20, 2017

Bundaran Sarinah Jadoel | Foto: Kaskus
Pagi itu, kami berjalan kaki. Dari Bundaran Sarinah nan ramai, hingga Bundaran Hotel Indonesia penuh massa. Suami mengajak anak-anak menjadi saksi kemegahan ibukota lewat ajang Car Free Day. Saya pernah ke car free day sebelumnya, waktu masih lajang. Sekarang dengan dua buntut kembali lagi dan merasa takjub. Tak menyangka animo masyarakat akan kegiatan mingguan di kawasan segitiga emas Jakarta ini ternyata kini begitu meriah.

Para penggiat ekonomi rakyat berada di trotoar lebar itu menjajakan barang dagangannya masing-masing. Belum lagi banyak rombongan para pengamen ondel-ondel dengan speaker di dada. Minggu pagi di jalan utama jantung Jakarta yang semula bertujuan menjadi area bebas polusi kendaraan bermotor itu justru disesaki manusia. Lelaki dan perempuan berbusana olahraga lalu lalang. Tapi kebanyakan jalan kaki, tidak bisa berlari lantaran ramai. Tiba di Bundaran HI, generasi millenials sibuk berswafoto.Tak ada tongkat narsis? Jangan sedih.. Ada abang-abang penjual yang siap menawarkan Anda di sana.

Sepanjang jalan itu, saya membayangkan bila menaiki mesin waktu ke masa saat daerah ini pertama kali dibangun. Mesti tak ada kemacetan. Soekarno mungkin sibuk mencari dana untuk banyak membangun infrastruktur negeri. Lamunan saya buyar oleh cerita Pak Suami diantara hiruk pikuk manusia generasi millenials. "Ini dia Sarinah. Jaya pada masanya," sahut si Bapak. 

Beberapa kali kantor saya berhubungan dengan Sarinah untuk menggerakkan para UKM negeri yang tentu saja sedang berjuang agar tetap mengekspor ditengah lesunya ekonomi dunia. Tak mudah memang membakar semangat juang para penggiat ekonomi rakyat itu. Hasil peluh keringat mereka semestinya bisa dipromosikan oleh Sarinah.

"Sarinah merupakan 'sales promotion' barang-barang dalam negeri, terutama hasil pertanian dan perindustrian rakyat. Bangunannya dirancang dengan bantuan Abel Sorensen dari Denmark dan dibiayai dari rampasan perang Jepang," sebagaimana kata Soekarno lagi yang dikutip dari laman resmi Majalah Historia, historia.id.

Sarinah dibangun dari dana kompensasi Jepang dengan segenap hati untuk memenuhi harapan Bung Karno sebagaimana tertulis dalam pengantar buku bertajuk Sarinah, “Dari Mbok Sarinah, saya mendapat pelajaran mencintai 'orang kecil'. Ia orang kecil, tapi jiwanya selalu besar."

Negara matahari terbit rupanya terikat Perjanjian San Fransisco pada 8 September 1951 yang ditandatangani oleh 49 negara, termasuk Indonesia, akibat kalah oleh sekutu saat perang dunia kedua. Salah satu isi perjanjian itu adalah Jepang harus memberikan kompensasi kepada negara-negara yang pernah menjadi jajahannya. Alhasil, setelah melalui diplomasi yang cukup alot, 7 tahun, pada November 1957 Perdana Menteri Jepang Kishi dan Presiden Soekarno sepakat atas dana kompensasi Dai Nippon untuk Indonesia adalah sebesar USD 223,08 juta dan bantuan lain sebesar sekitar 80 juta yen yang dibayar dengan cara mencicil. Dana itu salah satunya juga dipergunakan untuk pembangunan Hotel Indonesia.

Meriahnya Car Free Day di Bundaran HI, Jakarta | Foto : Jati Mahatmaji
Kisruh Pilkada Ibukota di media sosial kini memang suatu hal yang lumrah terjadi. Sejak lampau, DKI Jakarta nyatanya memang sungguh istimewa. Lain halnya dengan daerah lain yang berada di bawah Menteri Dalam Negeri, Gubernur Jakarta langsung bertanggung jawab kepada Presiden sejak masa demokrasi terpimpin pasca-Dekrit Presiden pada 1959.

Perencanaan tata kota DKI Jakarta pada masa itu juga memang menjadikan Jalan MH Thamrin dan Jalan Jenderal Sudirman sebagai jalan utama menuju kota satelit di Kebayoran Baru dimana kebanyakan instansi pemerintah ada di daerah itu. Kawasan Jalan MH Thamrin sampai Kebayoran Baru memang direncanakan menjadi daerah elite.

Pembangunan negeri ini sedari dulu memang memakan korban gusuran. Menurut Peter Kasenda, penulis buku Soekarno, pemerintah juga pernah beberapa kali mengadakan penggusuran di daerah Jalan Jenderal Sudirman demi tata kota yang lebih apik dari lahan kosong dan perkebunan menjadi gedung tinggi hasil politik mercusuar.

Pikiran saya yang baru bertambah tua ini melanglang buana ke para petani Kendeng yang tengah berjuang di halaman istana, pun ke foto-foto salah satu wisatawan yang berhasil tembus ke Korea Utara. Baik para petani maupun rakyat Korea Utara mungkin terlihat sedang menyakiti diri mereka secara kasat mata. Tapi saya percaya bahwa yang mereka lakukan adalah demi kelangsungan hidup generasi selanjutnya dengan prinsip hidup yang mungkin berbeda dengan kebanyakan orang. Lantas diri ini bertanya dalam hati, "Penataan kota ini dilakukan untuk siapa kah? Untuk kebanggaan hati seorang pemimpin yang berhasil membangun? Untuk rakyat yang nyaman tinggal di ibukota? Atau untuk keuntungan pemilik modal semata?"

Entah..

You Might Also Like

4 comments

  1. Di CFD ini selalu ada ondel-ondel gak ya? Anak saya suka banget sama ondel-ondel dan sekarang kesenian ini sdh mulai jarang. Hiks..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Pasti ada banget, Mbak! #yakin
      Tapi ya pengamen ondel-ondel yang sambil minta sedekah gitu, mbak.

      Ondel-ondel mulai jarang ya di sekitar rumah mbak? Anak saya malah takut sama ondel-ondel. Hihi..

      Delete
  2. isinya menjadi dunia gemerlap kota, orang kere menyingkir kepinggiran saja.

    ReplyDelete
  3. sekarang semua berlomba membangun gedung yang tinggi. semoga bukan hanya gedung yang dibangun, tapi juga karakter manusianya.

    ReplyDelete