Melihat Dunia Lewat Buku

January 18, 2017

Teman baik saya, salah satu dari kontributor di blog ini, suatu waktu mengirimkan tautan sebuah artikel. Banyak hal baik yang bisa saya ambil dari artikel ini dan saya terapkan bila suatu saat nanti saya menjadi seorang Ibu dan memiliki anak. Salah satunya adalah menimbulkan dan mendukung kebiasaan membaca anak-anak saya nantinya. Seperti yang kita ketahui bahwa Indonesia memiliki budaya membaca yang memprihatinkan. Saat rata-rata penduduk negara lain membaca 20-30 buku pertahunnya, penduduk Indonesia hanya membaca hanya 2-3 buku pertahunnya.

Kembali pada artikel itu, dikatakan bahwa kewajiban seorang Ibu untuk menumbuhkan minat baca anak-anaknya (tidak untuk mengesampingkan peran ayah untuk hal ini karena artikel ini memang membahas tentang wanita dan perannya). Seorang Ibu harus menstimulus dengan berbagai cara agar anaknya doyan membaca buku bahkan jika semua cara tersebut gagal, maka cara terakhir adalah membayar anaknya untuk membaca buku. Artikel ini menekankan begitu pentingnya budaya membaca buku.

Ibu saya juga dulu begitu, menstimulus saya untuk membaca buku, Ibu melanggankan saya majalah mingguan Bobo lalu rajin sekali dengan rutin mengantar saya ke perpustakaan perusahaan ayah saya, hingga membelikan saya dan kakak saya buku untuk mengisi waktu luang kami (maklum tahun segitu belum banyak saluran televisi, belum ada internet, apalagi gadget). Saya biasa meminjam buku-buku dongeng rakyat karangan Hans Christian Andersen selain buku-buku cerita rakyat asli Indonesia. Buku-buku itu mengajarkan moral dengan sederhana. Saya ingat cerita tentang seorang penebang kayu yang kapaknya jatuh ke dalam danau, kemudian dia diberi tawaran berbagai macam kapak, seperti kapak yang terbuat dari emas. Penebang kayu yang jujur tidak mengakui kapak yang bukan miliknya, kejujurannya berbuah hadiah berupa kapak emas. 

Saat menginjak sekolah menengah, saya mulai meningkatkan bacaan saya. Lupus, Olga dan sepatu roda, STOP, Sherlock, dan saat semua itu sudah selesai saya baca, saya mulai menyentuh buku-buku yang seharusnya (mungkin) belum dibaca anak seusia saya seperti novel karangan Steve Martini, John Grisham, Sidney Sheldon, Mira W, Zara Zettira, dan lainnya. Dari sekian banyak buku yang saya baca semasa itu, ada sebuah buku yang menjadi pintu gerbang ketertarikan saya pada buku-buku sastra, saya justru menemukannya menyempil di rak buku perpustakaan sekolah. Judulnya Gelang Warna-warni, buku yang terbit pada awal tahun 90an dan saya yakin sedikit sekali orang yang pernah mendengarnya alih-alih membacanya. Buku ini berisi kumpulan cerita pendek yang berlatarkan India. Buku ini seperti membuka mata saya, bahwa ada kehidupan yang begitu sendu di luar sana, ketidakadilan yang terstruktur melalui budaya, dan hal-hal baru bagi saya lainnya. Ini seperti melihat dunia dari sebuah buku. Buku jenis ini membuat buku macam Fear Street dan Animorph serasa tidak memiliki isi sama sekali (bagi saya).


Perjalanan saya dalam mencintai kegiatan membaca buku tentu saja didukung oleh keadaan di sekitar saya, teman-teman yang memiliki referensi lebih banyak dari saya, mereka menularkan jenis-jenis buku yang mereka baca, membuat saya lebih variatif dalam membaca jenis buku. Tapi tetap saja, saya lumayan menyukai buku sastra, walaupun bukan sastra berat. Saya menyukai gaya penulisan yang sederhana tapi mengangkat isu-isu sosial budaya yang terjadi di sekitar. Bagaimana penulis-penulis hebat itu membuat saya hanyut dalam cerita yang mereka tuangkan. Selama ini saya lebih menyukai pengarang asal Asia, mungkin karena kemiripan budaya. Membaca buku yang bagus itu membingungkan, saya begitu ingin mengakhiri agar segera mengetahui bagaimana akhir cerita tapi juga takut jika saya menyelesaikan bukunya, saya tidak akan menemukan hal semenarik ini di buku selanjutnya. Ini saya alami, salah satunya saat saya membaca Novel karya Gao Xingjian yang berjudul Soul Mountain.


Buku yang saya baca tentu saja mempengaruhi proses bagaimana saya berpikir saat ini. Begitu banyak buku-buku hebat dengan penulis-penulis hebat di belakangnya, seperti Umar Kayam, Pramoedya Ananta Toer, Amartya Sen, Akutagawa Ryunusuke, Gao Xingjian, Arundhati Roy, Orhan Pamuk, dan masih banyak lagi. Saat ini, saya tidak tinggal di kota besar yang menyediakan banyak pilihan toko buku dan buku-bukunya, saya tinggal di kota yang berbasis industri pertambangan tanpa ada universitas negeri. Sulit sekali menemukan buku-buku menarik menurut kriteria saya di toko buku yang ada di kota saya. Ah! tapi toh saya masih bisa membeli online. Tapi apakah generasi di bawah saya, dengan berbagai saluran televisi, jaringan internet yang cepat, dan gadget beserta beragam sosial medianya masih tertarik untuk membaca buku-buku jenis ini? Bagaimana kita bisa membuat adik-adik kita mencintai membaca dan tidak melupakan betapa menyenangkan dan bermanfaatnya kegiatan membaca. 

*Tulisan lain di jejakkatumbiri tentang buku dan perpustakaan bisa dibaca di sini.

You Might Also Like

6 comments

  1. Senangnya membaca artikel ini. Mari membaca

    ReplyDelete
  2. Kamar Eva adalah kamar favorit tempat nongkrong saya waktu SMA dan kuliah, soalnya banyak buku bagus dan pulangnya bisa pinjem..hehehe. Terima kasih sudah memperkenalkan Ayu Utami, Fira Basuki, Dunia Sophie, Misteri Soliter, dan lain-lainnya yaa :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tatat telah mengenalkan Pramodya Ananta Toer melalui buku Larasati dan mengajak rutin membaca koran sejak SMA..

      Delete
  3. Kak, bacaannya beragam dan keren-keren sekali. Sampai Orhan Pamuk, pun. :-) Tulisannya juga menginspirasi untuk lebih giat membaca. Dan menularkan minat baca pada yang lain. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hallo Putri. Terimakasih yah udah dibilangin keren (bacaannya) :P
      Menurut saya sangat penting untuk membaca berbagai macam genre walaupun pada akhirnya kita memiliki genre favorit. Beragamanya bacaan akan mempengaruhi pemikiran kita dan sudut pandang kita dalam melihat sesuatu. Dan teman adalah sosok penting dalam memberikan berbagai referensi bacaan. Yuk mari teruskan membacanya :)

      Delete