Perempuan dan Kelapa Sawit

August 10, 2017

Beberapa saaat yang lalu di sebuah acara, seorang senior bicara santai kepada saya bahwa ada baiknya saya rajin menulis mengenai isu gender yang terkait dengan pekerjaan saya. Ide tulisan bisa saya dapatkan di lokasi-lokasi dimana saya mengumpulkan data kualitatif. Menurut senior saya, hanya sedikit sekali perempuan (hanya dua orang) di tempat asal saya yang berfokus terhadap isu perempuan. Mengikuti sarannya maka kali ini saya akan mengangkat tema mengenai perempuan (walaupun tidak mendetail).

Setahun belakangan, saya membantu mengumpulkan data di dua lokasi, Desa Muara Tae (Kutai Barat) dan Desa Menamang Kiri (Kutai Kertanegara). Pengumpulan data  saya di kedua lokasi ini didasari oleh dua isu utama konflik sosial (tenurial) yang tidak terlalu sama. Muara Tae berakar pada penyempitan lahan masyarakat akibat ekspansi perkebunan sawit besar-besaran dan untuk Menamang Kiri adalah isu konflik antara masyarakat dengan perusahaan HTI (Hutan Tanaman Industri). Namun, di keduanya memiliki kesamaan yaitu sawit. Muara Tae, satu diantara beberapa desa di Kecamatan Jempang. Sekelompok orang di Muara Tae bersikeras mempertahankan wilayahnya dari alihfungsi lahan yang mereka miliki menjadi perkebunan sawit. Menamang Kiri meminta lahan yang mereka klaim milik mereka secara turun temurun dari perusahaan HTI yang kemudian mereka alihkan menjadi perkebunan sawit (bukannya tanaman kehidupan) karena dianggap lebih menguntungkan.

Di satu sisi sawit dianggap sebagai hantu yang merongrong, di lain sisi sawit dianggap sebagai pembawa perbaikan ekonomi. Lalu di mana para wanita dalam konflik yang melibat sawitkan sawit ini? Di Muara Tae, para perempuan sebelumnya turut membantu perekonomian keluarga dengan membuat tenunan khas ulap doyo yang dapat dijual. Namun, dalam wawancara yang pernah saya lakukan kepada perempuan-perempuan di Muara Tae beberapa dari mereka tidak lagi menenun ulap doyo dan seandainya pun ada yang melakukan, tingkat produktivitas yang mereka miliki tidak setinggi dulu. Hal ini ada kaitannya dengan perubahan lingkungan (kerusakan lingkungan) akibat perkebunan sawit yang ada di sekitar mereka. Tanaman doyo yang biasa tumbuh di antara tanaman tinggi seperti tanaman karet sudah jarang ditemukan karena lahan dan perkebunan karet sudah berubah menjadi perkebunan sawit. Tumbuhan-tumbuhan yang berfungsi sebagai bahan-bahan pewarna alami ulap doyo pun semakin sulit didapatkan. Sungai-sungai jernih yang biasa mengalir lancar sepanjang tahun sekarang sudah tercemar dan sering kali kekeringan pada musim kemarau tidak bisa lagi digunakan untuk mencuci doyo. Sawit telah menggerus kebiasaan para wanita untuk mengumpulkan daun doyo, mencuci daun-daun doyo di air sungai yang mengalir, dan menenun motif-motif indah dalam seulas ulap doyo. Di beberapa tempat bahkan sawit merubah para perempuan menjadi buruh-buruh sawit di lahan yang dulunya mereka miliki secara turun temurun sebelum dijual ke perkebunan kelapa sawit (seringkali dengan harga rendah).



Pencucian Daun Doyo di Desa Jempang (desa induk Muara Tae)


Lain dengan cerita yang saya dapatkan di Menamang Kiri, bagaimana kepala desa begitu sumringah menceritakan bagaimana perkebunan sawit mengubah kehidupan mereka menjadi lebih baik dibandingkan sebelumnya. Bagaimana harga sawit yang lumayan bagus dan kemudahan dalam menjualnya membuat mereka tidak perlu bersusah payah mencari pembeli, bagaimana penduduk dilibatkan menjadi karyawan di perkebunan sawit, dan yang terpenting bagaimana sawit membuat perempuan-perempuan di Menamang Kiri menjadi lebih produktif. Para perempuan yang biasanya menghabiskan waktu luang dengan mengobrol antar tetangga sekarang menggunakan waktu mereka untuk mengurusi tanaman sawit. Bagaimana hasil-hasil penjualan sawit-sawit ini membuat para perempuan memiliki modal untuk berjualan di depan rumahnya dan tentu saja kembali menambah penghasilan mereka. Apakah kehidupan masyarakat di Menamang Kiri baik secara ekonomi? Saya menganggapnya begitu (terlepas dari minimnya fasilitas pendidikan dan kesehatan). Warga memiliki rumah yang layak, kendaraan roda dua yang jumlahnya lebih dari satu, beberapa bahkan memiliki mobil yang harganya lebih mahal dibandingkan yang dimiliki oleh kami para peneliti yang datang dari 'kota'.

Apakah keberadaan sawit adalah masalah persepsi? masalah sudut pandang? Tapi bagi saya, saya lebih senang melihat hutan yang rimbun kaya dengan flora dan fauna dibandingkan dengan kumpulan tanaman sawit yang homogen, yang terasa kering dan tandus. Toh dimana saja, kondisi apa saja, perempuan adalah pejuang, yang disadari atau tanpa disadari, diapresiasi atau tanpa diapresiasi turut menyokong perekonomian keluarga bagaimana pun bentuk dan caranya. 


You Might Also Like

0 comments