Indahnya Keberagaman Lasem

February 13, 2017

Keberagaman Indonesia di Lasem, Jawa Tengah | Foto: Jati Mahatmaji
Indonesia, namanya. Hampir 4 jam lama perjalanan, sepanjang ingatan ini, roda bus itu membawa kami menuju Lasem, Jawa Tengah, sekitar 133 km arah timur dari Semarang, Jawa Tengah. Setengah perjalanan sempat juga kami mampir dan berteduh di pos bensin kawasan Demak, lantaran Indonesia mogok.

Lasem sendiri memang bukan saya atau suami punya kampung halaman. Lasem itu Eyang Uti (ibu mertua) punya kampung halaman. Ahwal roda Indonesia ini membawa kami ke Lasem datang bulan Maret. Waktu itu, sepupu suami mengabarkan bahwa dirinya akan menikah dengan pemuda Kendal pilihannya, juga pesan singkat BBM yang bilang, “datang ya mbak ke Lasem, ajak Gwen sekalian..” Berbekal uang gaji yang ditahan, dipotong tagihan awal bulan dan hutang Bank, berangkatlah kami naik sepur dari Jakarta ke Semarang, dan kemudian berakhir dibangku kelas 'eksekutif' Indonesia dari terminal Terboyo Semarang menuju Lasem.

Indonesia melanglang menapak jejak Jalan Raya Pos Daendels. Di luar jendela terbentang pemandangan sejibun tambak garam dan petaninya yang seakan kebal panas tengah menggaruk garam. Ini dia sebagian dari jalan yang panjangnya sampai 1000 kilometer dan dibangun hanya dalam waktu setahun itu. Pramoedya Ananta Toer pernah bilang ada sekitar 12000 jiwa melayang karena kelelahan dan malaria. Namun catatan sejarah Belanda menuliskan bahwa buruh-buruh tersebut tak dibayar semestinya oleh penguasa setempat karena setiap ringgit milik buruh masuk celengan pribadi para penguasa. Sekarang jalan ini buat saya tidak lebih dari sekedar jalan panjang tanpa ujung. Tidak ada simbol atau monumen, entah replika atau apalah, yang seharusnya dibuat agar Gwen dan Dipa tahu ini adalah 'Jalan Sejarah'.

Pekikan kondektur membuyarkan pandangan saya akan Jalan Pos. Ia mengingatkan kalau lima menit lagi kami akan tiba di Pasar Lasem, tujuan akhir kami. Bingkai sederhana soal Lasem sendiri baru saya dapat di Jakarta saat suami bercerita, “Dulu penjelajah Perancis bilang kalau Lasem itu adalah Le Petit Chinoise, atau Cina kecil. Tahu soal Ca Bau Kan? Nah itu Lasem punya.”

Rumah sepupu suami tidak begitu jauh dari Pasar Lasem, Gedong Mulyo nama daerahnya. Jangan bayangkan Pasar Modern Bintaro atau Pasar Minggu nan ciamik. Bayangkan saja pasar tradisional yang riweuh dengan bau khas, jalan tanah nan becek, dan kios berantakan. Ya begitulah gambaran realita pasar di luar Jakarta, bahkan ini ada di Pulau Jawa!

Kami sekeluarga akhirnya menginap di Hotel Surya, Lasem, karena rumah sang manten telah terlebih dahulu diinapi sedulur dari Semarang. Hotel Surya lumayan bersih, juru kuncinya pun ramah, dan yang paling penting buat anak-anak macam Gwen, televisi serta pendingin ruangan siap menghapus penat perjalanan panjang dari Semarang. Soal harga, Hotel Surya ini cocok bagi kami yang isi kantongnya pas-pasan. Dengan Rp 120 ribu permalam untuk satu kamar dengan dua tempat tidur single yang bisa digabung jadi double, kamar mandi, AC, TV, teh atau kopi untuk hidangan sarapan, serta bisa rekues air panas untuk mandi pagi subuh. Tetapi sehubungan letaknya persis dipinggir jalan, telinga kita tidak akan pernah absen untuk mendengar denyut Jalan Raya Pos yang dilintasi bus antarkota antarprovinsi (AKAP). Tak mengapa, setidaknya bukan teriakan dan debat kusir linimasa.

Keesokan paginya karena resepsi masih jauh dari agenda akan dimulai, suami meminjam skooter milik sepupu yang mengganggur, dan perjalanan menyusuri si Cina Kecil ini dimulai..

Di Lasem, Hikayat Tionghoa masih menetap sejalan dengan budaya Jawa Pesisir Pantai. Di Punggulharjo dekat Lasem ini, ada penemuan bangkai perahu kuno yang usianya sama seperti saat Candi Borobudur dibuat Dinasti Syailendra, sekitar abad ke-7 atau ke-8 Masehi. Kepala perahu identik dengan corak pelayar Tionghoa, sementara jenis kayu yang digunakan seperti kayu Nyatok dan Kuling berasal dari wilayah sekitar penemuan di Punggulharjo. Kedatangan Etnis Tionghoa ke Lasem terjadi pada awal pada abad ke-14 M, dan setelahnya pada abad ke-15 M, imigrasi orang-orang Fujian ke Lasem dimulai.

Sepanjang jalan dan gang tidak ada coretan anti ini itu yang cuma bikin pusing kepala dan membuat diri terlanjur bodoh. Di setiap Gang bisa kita jumpai arsitek lama rumah Tionghoa, yang usianya lebih tua dari mama papa di rumah. Salah satunya ada di Gang 4 No 17, Karang Turi, Lasem. Rumah Opa namanya.

Opa sendiri memiliki nama asli Lo Khiang Gwan, beleid Soeharto yang mengharuskan orang menjadi Indonesia, membuat namanya menjadi Kadjarni. Karena dianggap tetua kampung, semua orang panggil ia Opa, usianya mungkin sekitaran 80an, sementara rumahnya berusia lebih dari 150 tahun, tidak berubah barang secuil pun. Seperti karakteristik bangunan Cina-Hindia, rumah Opa sangat luas, ada teras depan, rumah inti, dan teras belakang. Potret laki-bini yang kata Opa, “Nenek moyang ku kui,” terpancang di depan ruangan yang mungkin bisa kita bilang ruang tamu. Dulu waktu Opa masih kecil, rumah ini menjadi sentra pabrik batik Lasem, meski sekarang sudah tidak lagi. Dinding rumahnya dari kayu jati, lantainya coklat batu bata (adem). Ruang doa, terlihat dari bangku tamu tempat kami duduk, saya belum sempat melangkah ke halaman belakang, karena canggung akibat kebaikan Opa. Dalam jalan pulang menuju penginapan, suami bertutur, “Opa dan Oma kalau sore selalu melakukan sembahyang pawon, sampai sekarang.”

Selain Ruma Opa, ada satu pesantren yang kemudian menjadi terkenal di linimasa karena menggunakan bangunan cina kuno sebagai lokasi menyebarkan syiarnya. Pesantren Kauman namanya. Di pintu masuk Pesantren, ada huruf Han yang sengaja tidak dihapus oleh sang pemilik rumah, saat saya bertanya kepada salah satu santri perihal artinya, ia bilang “Semoga luwes rejekinya sedalam Lautan Hindia,” yang membuat saya juga suami, tersenyum.

Tidak ada keinginan apalagi usaha untuk menghapusnya, karena menurut banyak santri, “Toh artinya bagus mbak..." Perkataan santri itu menohok ke hati saya. Ternyata begitu indah dan adem bila kita menerima perbedaan. Kerukunan hidup terjadi antara dua budaya yang katanya tak bisa disandingkan di negeri Indonesia ini. Tidak begitu banyak yang kami tahu soal Pesantren Kauman ini selain upayanya agar syiar Islam dapat membaur dengan masyarakat dan budaya setempat.

Pesantren Kauman dengan Arsitektur Sentuhan Tionghoa di Lasem | Foto: Jati Mahatmaji
Di Lasem juga ada Kelenteng Cu An Kiong, salah satu kelenteng paling tua di tanah Jawa. Santer kabar bahwa kelenteng ini dibangun pada abad ke-16. Sayangnya, konon penjarahan oleh tentara Belanda, menghilangkan beberapa koleksi yang mungkin bisa menjadi saksi awal mula Cu An Kiong. Sedikit googling, setiap hari ulang Thian Siang Seng, sang Bunda Suci dari Langit (biasanya jatuh pada tanggal 23 bulan 3 penanggalan cina), kelenteng ini menyuguhkan warga sekitar dengan pertunjukan wayang kulit dan klonengan, serta gamelan, semalam suntuk. Lokasinya ada di Jalan Dasun, Lasem. Karena waktu itu masih pagi, kami hanya bisa melihat keindahannya dari luar gerbang. Megah dan banyak Ong (baca: merah).

Oh ya, saya hampir lupa soal kuliner khas Lasem. Salah satunya Lontong Tuyuhan, makanan khas yang adik ipar sebut, “Ini nih yang bikin kangen Lasem.”

Lontong Tuyuhan adalah sajian kuliner lontong disiram kuah kari ayam yang agak cair, tidak begitu kental, namun lekat dengan rasa pedas. Memang sungguh sedap untuk dinikmati malam hari. Sayangnya menurut Eyang Uti, tidak setiap pedagangnya akan secara sukarela memberikan resep rahasia gerangan Lontong Tuyuhan. Ah tak lupa juga bakso pinggir jalan yang kalau boleh saya bilang, sebenar-benarnya daging sapi. :)))

Begitu banyak yang bisa kita telusuri dari kota Cina Kecil ini. Sayangnya sampai sini perjalanan kecil ini berhenti karena resepsi sebentar lagi. Suami dan saya berjanji dalam perjalanan di motor kepada Gwen, “nanti kalau Bapak dan Ibu punya uang, kita kesini lagi ya nak..”

“Yak,” jawabnya.

****
Tulisan dibuat untuk #1minggu1cerita.

You Might Also Like

26 comments

  1. Menemukan kedamaian dari perjalanan, semoga hal ini bisa menular...

    Terima kasih tulisannya :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiiinn!!!

      Semoga kedamaian selalu bersama Indonesia. Merdeka! :D

      Terima kasih sudah berkunjung, Andi..

      Delete
  2. Aaakkk...pengin ke sana! Thanks ceritanya, Teh.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sami-sami, Teh!

      Terima kasih juga sudah mampir. Hihi..yuk ke Lasem. :)

      Delete
  3. Bu marq ini kece banget, berasa berjalan ke masalalu 😍, settingnya keingetan film ca bau kan itu loh..

    Penasaran sama rumah opaaaa jadinyaaa...ga dipoto kah?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ambuuu nuhun pisaaaannn!!! :*

      Foto Rumah Opanya disimpen buat diposting di IG. Ahahaha..

      Delete
    2. Haseeek..pengen liat potonyaaa ih rumah opa.
      Dulu di jambi suka banyak warga keturunan gitu.tp mgkin ga sekental di lasem atau pontianak kali yaa...
      Budaya akulturasinya kece

      Delete
    3. Iyaaaa..insyaalloh nanti malem aku posting di IG. Hihihi..

      Waaahhh..wajib banget kayaknya lihat keberagaman di daerah lain di Indonesia.

      Ambu cerita donk akulturasi di Jambi. #rekues :)))

      Delete
  4. Bagus mbak ceritanya,pernah dengar Lasen dari teman yang berkunjung kesana..penasaran juga,insyaAllah kl ada rezeki mo jalan2 kesana bersama anak2..makasih mbak dah nambah bikin penasaran hehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin, Bu Novya!

      Semoga disegerakan rezeki buat jalan-jalan ke Lasemnya. :)

      Delete
  5. Huaaaa saya pengen nonton pertunjukan di lasem
    Semoga suatu hari saya bisa ke sana yaaa, menikmati cina kecil rasa jawa 😃

    ReplyDelete
    Replies
    1. Haiiii, Kak Roos! :D

      Aamiin..bisa buru-buru menikmati Lasem yang bikin kesengsem. Hihi..

      Delete
  6. Yuk kesana lagi yok..apalagi hotelnya murah..jejakkatumbiri style bgt..cocok buat kita 😂

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ahahaha..mari ikut!

      Akhir maret mau ke sana lagi rencananya. :D

      Delete
  7. Wah jadi tertarik ke Lasem.. *catat di list :D

    ReplyDelete
  8. catet catet dulu... banyak yg nulis perjalanan ternyatah... kapan kapan bawa Arden jalan jalan jauh...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ayo Ayah!
      Jangan jalan jauh-jauh sendirian. Ajak Arden donk sesekali! :D

      Delete
  9. Lasem memang ngangeni ya Mbak, aku baru sekali kesana, belum ditulis hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ayo dituliskan, Mbak.
      Biar apa yang dikangenin bisa menginspirasi banyak orang. Hihi.. #sokiye

      Delete
  10. belum pernah msuk ke pesantrennya. sepertinya menarik sebuah pesantren yang terletak di tengah2 pecinan

    ReplyDelete
    Replies
    1. Menikmati perjalanan adalah merasakan sensasi berbeda dari suatu hal yang lumrah.
      Bisa dicoba, Mas! :D

      Delete
  11. Mana foto lontong tuyuhannya mba? Hehe kepoo.. kayanya endeessss

    ReplyDelete
    Replies
    1. PASTI nanti diupload fotonya di Instagram yaaa, Nhae..

      Tunggu tanggal mainnya. Hihi..

      Delete
  12. Ca bau kan tau tapi Lasem baru ini hehe... Baru tauu setelah baca ini. Oh ya, postcardnya udah sampe yaa teh. Nuhun, tapi blm sempet dipotoo

    Oh ya, jadi kelenteng tertua yaa...suka sama arsitekturnya mix Tionghoa

    ReplyDelete
    Replies
    1. Horeee..terima kasih ya, Teh!

      Semoga kita bisa terus keep in touch lewat udara. #lha :))

      Delete