Wina: Kesan pertama

April 17, 2015

Wina (dalam bahasa Jerman Wien, dalam bahasa Inggris Vienna), ibukota Austria yang berjarak kurang lebih 10 jam perjalanan kereta dari kota kami di utara Jerman, Osnabrück. Sekilas nampak tak terlalu berbeda dengan kota-kota di Jerman yang pernah saya kunjungi. Apalagi bahasa yang digunakan pun sama, bahasa Jerman. Kota tua yang cantik dan megah di ring 1, plus perpaduan bangunan tua-modern di wilayah-wilayah selanjutnya.

Sebelum memasuki Austria, saya lupa mengaktifkan roaming paket data..jadilah whatsapp dan internet mati dan tidak bisa komunikasi dengan Septia, tuan rumah kami di Wina (yang mana juga salah satu penulis di blog ini, dia yang nulis: Schneeberg, Museum Misil Strategis, Grünersee, Pripyat, dan Chernobyl). Namun saya yakin..wi fi pasti ada di mana-mana :D Ternyata benar..di Wien Hauptbahnhof (Vienna central station), sangat mudah untuk terhubung dengan wi fi gratis. Tanpa password. Senangnyaaa....soalnya di Jerman jarang banget ada wi fi gratis di tempat umum (bukan di cafe atau restoran) kecuali di kampus. Tampaknya wi fi gratis ini salah satu cara otoritas lokal untuk menarik hati wisatawan :) Menurut Septia dan suaminya yang asli Wina, tourism memang salah satu andalan utama pendapatan Austria.

Terkait bahasa, meskipun sama-sama bahasa Jerman, ada beda dialek dengan yang di Deutschland..sama kayak orang Jawa Timur dan Jawa Tengah atau Sunda Kuningan dan Sunda Banten :p. Orang-orang Austria nada suaranya agak melengking dan sengau..dan sering juga saya ga nangkep mereka ngomong apa -_-

Sebagai ibu kota negara, Wina ini sangat turistik. Di mana-mana ramai turis, baik yang bertampang bule, Asia, Arab atau Afro. Bedanya dengan Berlin, jumlah bangunan tua di Wina lebih banyak..meskipun tentu tidak semuanya asli tua. Hal ini dapat dipahami karena Berlin, sebagai ibu kota pemerintahan Nazi, memang hancur parah setelah Perang Dunia II. Sementara Wina, hancurnya tidak separah Berlin. Jika orang berkunjung ke Berlin sebagian besar karena wisata sejarah (terutama sejarah Perang Dunia II, tembok Berlin, holocaust), maka orang berkunjung ke Wina untuk alasan yang nampak classy: opera, musik, seni, dst.

Sebelumnya saya membayangkan bahwa Wina tampaknya benar-benar menampilkan wajah Eropa klasik. Istana megah, taman-taman indah (yang sayangnya belum berbunga saat saya berkunjung akhir Maret lalu), bangsawan, royal family, dan opera. Ternyata..hal itu benar adanya. Istana, taman indah, museum terpelihara. Royal family memang sudah tidak berkuasa..tapi menurut Septi, saat ini mereka masih menyandang nama kebangsawanan dan hidup dalam kemewahan luar biasa. Wina juga masih menjadi referensi utama untuk opera, dibanding kota-kota lain di dunia.

Saya menyukai Wina yang plural dan ramah..tidak seramah Asia, tapi lumayanlah..setidaknya tidak lebih buruk dari Jerman. Terutama sekali, saya menyukai Wina karena di sana saya bertemu kembali dengan sahabat karib yang telah lama berpisah, si Septi ini. Selain karena dia sudah seperti orang lokal (best guide in Vienna! hehe), juga karena seolah-olah tidak ada jeda waktu panjang di antara kami. Masih sama..seperti ketika kami masih berkeliaran bersama di Jatinangor yang berdebu. Makan di Ampera, jalan kaki ke Caringin, dll (ini hanya bisa dipahami oleh mantan anak Jatinangor :D). Meskipun singkat tapi terasa menyenangkan dan menyegarkan..sebagai obat rindu kampung halaman nan jauh dimato :,)

tatatsjournal.blogspot.com
disclaimer: kami terlihat gendut karena pengaruh jaket :p

You Might Also Like

0 comments