Pengalaman Berpuasa dan Menjadi Minoritas di Jerman
June 19, 2017
Kami mengalami tiga kali puasa Ramadhan di belahan bumi Utara tepatnya di Jerman. Selama tiga kali itu, bulan Ramadhan selalu jatuh pada musim panas, yang mana panjang siangnya lebih lama daripada malam. Hal ini berarti juga waktu berpuasa lebih lama beberapa jam daripada di Indonesia, kurang lebih selama 19 jam.
![]() |
Puncak menara gereja Marienkirche Osnabrück |
Tantangan terberat lainnya berpuasa dengan durasi lebih panjang di luar negeri adalah menahan kangen sama berbagai makanan khas Ramadhan di Indonesia. Biasanya sejak siang sudah terbayang-bayang kolak pisang, es cendol, bakso, mie ayam, gorengan, dan lain-lain. Jika sedang ada waktu luang, saya dan suami khususkan memasak spesial (kolak pisang, tempe goreng tepung, dan soto ayam sudah termasuk kategori spesial dan mewah buat kami). Ketika sudah memasak makanan agak lengkap, biasanya kami memanggil kawan-kawan dekat untuk buka atau sahur bersama.
Karena waktu berbuka yang tinggal dua jam menuju tengah malam dan lokasi masjid yang jauh dari rumah (harus naik bus 20 menit), shalat tarawih kami lakukan di rumah saja. Buat saya ini agak membuat saya malas sih, karena Shalat Tarawih paling nikmat dilaksanakan berjamaah. Sedangkan untuk Sholat Ied, kami biasanya naik bus ke Masjid terdekat. Shalat Ied biasanya dilaksanakan jam 9 pagi, tidak sepagi di masjid-masjid Indonesia. Sayangnya di Masjid langganan kami ruang sholat untuk perempuan tidak cukup untuk menampung banyaknya jemaaah. Pernah saya dan seorang teman sholat di pintu, menghadap sendal-sendal jemaah perempuan lain. Jemaah datang dari berbagai negara, Turki, Afrika, Asia, Arab, dan sebagainya. Selesai sholat Ied dibagikan makanan kecil manis-manisan khas Turki. Walaupun harus bersesak-sesakan di ruang kecil, tak urung hati ini merasa hangat, serasa berada di tengah kerabat yang jauhnya ribuan kilometer dari tanah air.
Teman-teman dan guru atau profesor yang cukup peduli biasanya menanyakan apakah tidak apa-apa jika mereka minum atau makan di depan saya yang sedang berpuasa. Di luar itu tentu jangan berharap orang-orang akan minta maaf atau restoran-restoran akan menutupi jendelanya dengan tirai :D. Beratkah dengan berbagai godaan berbagai restoran yang tetap buka dan orang-orang yang makan dan minum di sekitar kita? Ngga tuh..biasa aja, ga bikin saya ujug-ujug ingin ikutan makan dan minum dengan mereka. Menurut saya, terlalu cemen kalo orang batal puasa cuma gara-gara godaan semacam itu.
Sebagai minoritas dalam hal agama dan ras di Jerman, hidup tidaklah sesulit jadi kaum minoritas di tempat lain #eh. Dalam undang-undang dan praktek nyatanya di kehidupan sehari-hari, sikap diskriminatif karena agama, ras, warna kulit, apalagi yang dilakukan secara terang-terangan, dianggap melanggar hukum. Walaupun sekali-dua kali pernyataan dan perlakuan rasis masih tetap terjadi, namun masyarakat mayoritas beserta pemerintah (dan polisi tentunya) sangat menentang dan serius menindak kasus-kasus tersebut. Pemerintah juga melindungi hak-hak dan ritual keagamaan kaum minoritas seperti umat Muslim dan Yahudi. Kami tidak pernah kesulitan untuk mendapatkan daging halal yang biasanya dijual di toko milik orang Turki yang tersebar di banyak kota besar dan kota kecil. Bahkan di berbagai supermarket biasa, kami bisa membeli wurst (sosis Jerman) dan salami berlabel halal. Saya ingat menjelang Ramadhan tahun lalu, di supermarket langganan dekat rumah kami tiba-tiba banyak dijual kurma. Feels like home banget kan?
Tempat ibadah pun cukup mudah ditemukan. Tidak jauh dari stasiun (Hauptbahnhof) di setiap kota biasanya kita bisa menemukan masjid. Di kampus-kampus seperti di kampus saya, sejak tahun lalu tersedia Gebetsraum (Ruang Berdoa) yang dilengkapi dengan tempat berwudhu yang bersih dan super nyaman. Ruang berdoa ini bisa dipakai oleh siapa saja, bukan hanya untuk umat Islam (semacam silent room). Di dalamnya dilapisi karpet dan terdapat beberapa buah Al-Quran.
Di Jerman, umat Islam dan ritualnya
bukanlah sesuatu yang asing. 5,7 % (sekitar 4,7 juta orang) dari total
penduduk Jerman tercatat sebagai Muslim. Sebagian besar kaum Muslim di
Jerman berasal dari etnis Turki (63,2 %). Para pekerja Turki didatangkan
secara resmi ke Jerman pada akhir 1950-an dan awal 1960-an untuk
membangun kembali Jerman setelah Perang Dunia II. Sisanya datang dari
negara-negara bekas Yugoslavia di Balkan, dari negara-negara Arab, dari
Iran, Afghanistan, serta dari negara-negara Afrika. Hanya sebagian kecil
kaum Muslim di Jerman yang berasal dari negara-negara Asia seperti dari
Indonesia, Malaysia, Bangladesh.
Hal
itu juga yang sering menimbulkan kebingungan orang-orang Jerman jika
melihat saya, seorang bertampang Asia yang memakai jilbab.
Pertanyaan-pertanyaan seperti, "Kamu bisa bahasa Arab?", "Kamu orang Sri
Lanka ya?", "Kamu orang Jepang kok Muslim?" sering dilontarkan oleh
mereka. Ketika mereka sudah mengetahui saya dari Indonesia, salah
satunya bertanya "Bagaimana bisa Islam menyebar sejauh itu ke Asia
(Timur Jauh/Far East) hingga menjadikan Indonesia negara dengan jumlah
populasi Muslim terbesar di dunia?" Bagian untuk menjelaskan mengapa
Indonesia bisa menjadi negara yang penduduknya sebagian besar beragama
Islam dan bagaimana kehidupan umat Islam di Indonesia adalah favorit
saya. Seringkali mereka tampak terpana setelah mendengar penjelasan
saya, karena dalam bayangan sebagian besar orang Jerman, Islam itu
identik dengan Turki dan Arab. Bahkan Hari Raya Idul Fitri yang dikenal oleh orang Jerman bernama "Zucker Fest" (festival gula), berasal dari tradisi Turki yang biasanya menyediakan penganan manis-manis pada tanggal 1 Syawal.
Pengaruh terbesar dari pengalaman berpuasa dan menjadi minoritas di Jerman yaitu menjadikan saya lebih terlatih mengendalikan nafsu makan yang buas dan nafsu untuk bersifat konsumtif. Jika dulu menjelang buka puasa kami biasa mengumpulkan berbagai jenis makanan yang diinginkan dan harus dimakan habis, kali ini, setelah kembali ke tanah air, saya merasa kurang tertarik dengan makanan-makanan itu. Mungkin karena di Jerman terbiasa hidup susah, dimana kami harus berusaha (memasak) sebelum menyantap makanan kesukaan :D.
Di Jerman, perputaran uang terbesar biasanya terjadi menjelang Natal, sama persis seperti di Indonesia menjelang Idul Fitri. Ketika sebagian besar orang berbondong-bondong berbelanja menjelang Hari Raya kali ini di tanah air, saya tak bersemangat sama sekali. Mungkin karena ga punya uang..hahaha. Saya anggap itu sebagai hikmah merantau, hidup lebih sederhana dan terbiasa melihat apa yang benar-benar penting bagi saya, bahwa inti dari Ramadhan adalah mengendalikan diri, beribadah, dan bersilaturahmi :).
Di Jerman, perputaran uang terbesar biasanya terjadi menjelang Natal, sama persis seperti di Indonesia menjelang Idul Fitri. Ketika sebagian besar orang berbondong-bondong berbelanja menjelang Hari Raya kali ini di tanah air, saya tak bersemangat sama sekali. Mungkin karena ga punya uang..hahaha. Saya anggap itu sebagai hikmah merantau, hidup lebih sederhana dan terbiasa melihat apa yang benar-benar penting bagi saya, bahwa inti dari Ramadhan adalah mengendalikan diri, beribadah, dan bersilaturahmi :).
10 comments
Jempol buat teteh.. 😁
ReplyDeleteJempol juga buat Teh Mia :D
DeleteMenjadi minoritas sudah tantangan tersendiri, ditambah lagi puasa ya Teh
ReplyDeleteSemangaaaat. Semoga puasanya lancar jaya, Teh
iya..hehe..Makasih :)
DeletePengalaman yang menarik
ReplyDeleteMakasih sudah mampir dan membaca :)
DeletePuasa sambil thesis? 😱👏🏻 Juaraaaa pasti sabarnya. Btw salut dengan toleransi di Jerman.
ReplyDeleteKalo di atas jam 12 siang sih biasanya udah ga fokus, ya ngantuk atau konsentrasi gampang pecah. Enaknya ngerjain pagi2 atau malem setelah buka *tapi ngantuk deh..Haha. *serbasalah
DeleteBersyukur ya teh kalau pas di indonesia. Ibadah aja mudah banget, malah didukung segalanya. Didukung cuaca, suhu, dll. Houbf kebayang nanti kalau hidup fi LN 😂
ReplyDeleteIya..bersyukur banget kalo di Indonesia dipermudah segalanya 😊
Delete