Backwards in High Heels: The Impossible Art of Being Female

July 10, 2021


By the time it is past thirty-five, it has been through the wars; it is battle-hardened, marked and scarred, and so when it is bashed again you know that it will crack, but not break entirely. This does not make the sorrows of life any less great, but there is a context; there is familiarity--oh, this again, the subliminal mind says, yes, I remember this. The memory of pain comes back, but also the memory of survival.

****




Beberapa tahun lalu saya menerima bingkisan buku dari sahabat baik saya sejak SMP. Katanya buku ini dia beli dari event Big Bad Wolf, satu untuknya dan satu lagi untuk saya. Awal menerima buku ini, saya membaca beberapa halaman awal kemudian tidak meneruskan membaca dengan berbagai alasan hingga pada tahun ini, saat pandemi covid memasuki tahun keduanya, saat begitu banyak rencana yang harus ditunda, begitu banyak kekecewaan yang dilalui (yang sejatinya tidak hanya saya yang mengalami tapi mayoritas semua orang) sebagai imbas dari adanya pandemi. Saat semua orang harus menahan diri untuk tidak melakukan interaksi sosial, banyak pekerjaan tertunda hingga batas waktu yang tidak dapat ditentukan, rasa marah, rasa kesal, yang kemudian menjadi penerimaan bahwa tetap sehat di saat-saat seperti ini sendiri merupakan anugerah.

Saya kemudian kembali melirik buku ini, karena dalam masa-masa ‘krisis’ seringkali kita butuh sesuatu untuk kembali memompa semangat kita, memotivasi kita, memberi kita bahan renungan. Buku ini membahas hal-hal yang seringkali atau umumnya dialami wanita (khususnya yang berusia 30 – 40an). Krisis-krisis yang dialami wanita pada umumnya saat berusia 30 – 40an. 

Buku ini dibagi menjadi 15 bab dengan bahasan, yaitu: LOVE, FOOD, CAREER, MEN, HEALTH, POLITICS AND THE NEW ORTHODOXY, PHILOSOPY OF LIFE – SELF ESTEEM – AND THE WHOLE DAMN THING, DRESSING AND SHOPPING, MOTHERHOOD AND FAMILY, MONEY, GRIEF, AGE, BEAUTY, SEX, THE PRATICAL CHAPTER (kinda additional chapter).

Buku ini dikemas dengan bahasa yang ringan, seringkali pada saat saya membaca buku ini merasa sangat terhubung, ‘kok samaan sih masalahnya?’ atau ‘kok samaan sih yang dirasain?’. Kebodohan dan kenaifan-kenaifan yang seringkali dilakukan wanita-wanita muda sepertinya hampir sama, saya di Indonesia dengan si penulis yang merupakan orang Inggris yang  tinggal di Inggris, tidak berbeda, sama saja di beberapa masalah. Membaca buku ini seringkali membuat saya tersenyum sendiri.

Tidak banyak yang bisa saya jelaskan dari buku yang memiliki hampir 400 halaman ini. Tapi, saya merekomendasikan buku ini untuk para wanita usia 30 – 40an yang mungkin sedang mengalami krisis atau sedang dalam kondisi mempertanyakan keputusan-keputusan hidup yang telah dan akan diambil. Buku ini menjadi salah satu buku yang saya anggap sebagai the right book for the right time.  Buku ini menyuntikkan semangat penerimaan, baik penerimaan terhadap diri sendiri dan penerimaan terhadap pilihan orang lain yang ada di sekitar kita.

***

"you might be getting older, but it does not mean that you have to lose hope"

You Might Also Like

0 comments