Makna Upacara Bendera di Rantau

October 05, 2016



Seperti yang pernah disebutkan Marq di awal tulisan ini, blog ini adalah blog bertema jalan-jalan. Lalu kalo dikasih tema lagi, ehm..syulit. Apalagi tema minggu ini dari #1minggu1cerita tentang upacara bendera. Tapi tidak ada yang tidak mungkin..nyambung ga nyambung, harus nyambung! :D
 
Sejak duduk di bangku sekolah dasar hingga sekolah menengah pertama, saya rutin melakukan upacara bendera setiap hari Senin. Sejak kelas 4 SD, saya mulai berperan dalam upacara, entah itu sebagai dirigen, pengibar bendera, pembaca undang-undang dasar, hingga ketika sudah kelas 6 merasakan jadi pemimpin upacara. Maklum, SD saya kecil saja di kampung. Keseluruhan hanya ada enam kelas. Lalu di SMP, saya mulai males-malesan upacara karena saya sering datang terlambat. Yups..rumah saya yang jauh dan kalo berangkat harus nungguin ibu, jadilah saya sering telat. Kadang saya ga ikut upacara karena terlalu terlambat untuk bergabung di barisan paling belakang sekalipun.
 
Memasuki SMA, akhirnya saya bebas dari rutinitas upacara bendera hari Senin..horee!! SMA saya memang bertempat di satu lokasi dengan sekolah lain, di mana penggunaan lapangan upacara dan fasilitas olahraga harus bergantian di antara dua sekolah. Lapangan depan sekolah pun bukanlah lapangan besar yang bisa menampung seluruh siswa. Jika menginginkankan upacara bendera yang layak, hanya cukup untuk satu kelas dengan guru-guru dan petugas upacara. Sehingga sekolah saya dan sekolah tetangga membuat kebijakan, upacara bendera setiap hari Senin digilir per kelas di antara dua sekolah. Asyik kan, hehe.. Jadwal saya upacara bendera hanya setahun sekali. Setelah kuliah dan bekerja, Saya tidak pernah lagi ikut upacara bendera.
 
Tapi ketika merantau, barulah Saya merasakan makna upacara bendera yang sesungguhnya. Dua kali saya mengalami upacara bendera ketika merantau di Jerman. Kebetulan kami tinggal di sebuah kota yang jauh dari lokasi KBRI ataupun KJRI. Ketika 17 Agustus tiba, yang bisa dilakukan oleh masyarakat Indonesia adalah mengadakan upacara bendera peringatan 17 Agustus dengan fasilitas seadanya. Tanpa tiang bendera, hanya bendera merah putih yang diikatkan pada tiang kayu.
 
Kami mengikuti peringatan 17 Agustus di Münster, kota tempat kami tinggal enam bulan pertama di Jerman yang bisa ditempuh selama 35 menit-1 jam dari kota kami, Osnabrück. Biasanya PPI Münster (Perhimpunan Pelajar Indonesia Münster) sudah mengorganisir tempat, bendera, peralatan sederhana untuk lomba-lomba, dan hadiah-hadiah kecil untuk pemenang lomba. Untuk makanannya, masing-masing orang atau keluarga membawa makanan khas Indonesia. Ada yang membawa bakso lengkap dengan kuahnya, ada yang membawa pempek, nasi goreng, kerupuk, bala-bala, dan lain-lain.
 
Urutan dalam upacara benderanya tidak jauh berbeda dengan di tanah air. Mengheningkan cipta dan kami menyanyi bersama, menyanyikan lagu Indonesia Raya (tanpa penaikan bendera karena bendera sudah diikat di tiang), pembacaan Pancasila dan UUD 1945, pembacaan teks proklamasi, dan ditutup dengan do´a.

Peserta yang bertahan dari mulai persiapan, sampe buang sampah selesai acara. Sebagian yang lain udah bubar.
Bagian yang paling mengharukan dan membuat saya berkaca-kaca tentu bagian menyanyikan lagu Indonesia Raya sambil menatap bendera merah putih yang berkibar. Ahh..berjuta rasanya. Semua kenangan menyeruak muncul. Ingatan akan keluarga nan jauh di mato, ingatan akan bangsa dan tanah air yang lengkap dengan segala permasalahannya, plus ingatan akan kenyamanan yang kami tinggalkan di sana, terutama ingatan akan makanan murah yang enak-enak T_T. Dalam berbagai kesederhanaan upacara bendera di rantau, justru rasa nasionalisme kami membuncah.
 
Upacara bendera peringatan 17 Agustus yang sederhana ini dihadiri oleh masyarakat Indonesia di sekitar Münster-Osnabrück. Selain mahasiswa, ada juga orang Indonesia yang menikah dengan orang Jerman, para profesional Indonesia yang sudah menetap dan bekerja di Jerman, para au pair, hingga eksil yang tidak bisa pulang ke tanah air pasca peristiwa 1965.
 
Untuk yang sudah menikah dengan orang Jerman dan mempunyai anak-anak, kegiatan peringatan 17 Agustus ini penting untuk mengenalkan perasaan kebangsaan sebagai bangsa Indonesia kepada anak-anaknya. Tidak sedikit dari kami yang sudah tidak memegang paspor Indonesia lagi. Tapi saya yakin, keharuan yang dirasakan antara yang masih berpaspor Indonesia dan yang tidak lagi berpaspor Indonesia tetap sama. Percayalah, peribahasa yang mengatakan Hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri, lebih baik negeri sendiri, benar adanya. Berada di manapun kami, tanah air tetaplah Indonesia dan kami tetap merindu pulang.

Selesai upacara bendera, kami lanjutkan dengan lomba-lomba seperti makan kerupuk, tebak lagu nasional dan daerah, tebak gambar yang berhubungan dengan Indonesia, dan terakhir makan-makan..bagian paling ditunggu. Kapan lagi bisa makan enak berbagai jajanan tanah air sampai puas? Hehe.. Suasana guyub khas Indonesia terasa sekali dalam perayaan sederhana ini.

Bagi saya upacara bendera tidak memiliki banyak hubungan dengan usaha menumbuhkan nasionalisme, baik di sekolah-sekolah dasar, maupun di berbagai instansi pemerintah. Mengapa? Karena sudah terbukti, upacara bendera rutin yang tidak disertai dengan pendidikan karakter tetap tidak akan berhasil membentuk generasi bangsa yang berkualitas dan cinta tanah air. Buktinya, puluhan tahun Indonesia mewajibkan upacara bendera rutin setiap hari Senin di sekolah-sekolah dan instansi pemerintah, korupsi, kerusakan lingkungan, dan berbagai hal buruk yang memiskinkan negara terus terjadi. Walaupun begitu, seuntai doa teriring selalu untuk bumi pertiwi dan rakyatnya, semoga terus melangkah ke arah yang lebih baik.

You Might Also Like

21 comments

  1. Dosen seniorku di antrop pernah berkata kalian hanya melihat bendera tanpa memahami arti dibalik bendera itu. Tak pernah mencoba mencari tahu kenapa dicipta lagu kemerdekaan. Sekelas hening. Lalu dosen berkata, saya maklum karena kalian tak diajarkan soal itu. Syedih.... Jadilah blogku malah ngomongin mantan... padahal tema upacara bendera.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya sih..dari SD (jaman kita) cuma diajarin ritual..ritual yg akhirnya bikin kita bosan dan malas upacara. Semoga jaman sekarang udah membaik cara pendidikan kewarganegaraannya

      Delete
  2. Sepertinya aku pun sama kalau di negeri nun jauh dari tanah air, mendengarkan lagu Indonesia Raya atau Indonesia Pusaka atau Tanah Air pasti nangis-nangis lebaaaay...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iyaa...aku sering nyangkut dengerin lagu "Tanah Air" dr youtube sambil cirambay..haha --Tatat

      Delete
  3. Ngomong-ngomong kalo di jerman, warga negaranya, tiap senen ada upacara bendera juga ga sih? *Serius nanya*

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ga ada..terutama karena disini konsep nasionalisme maknanya beda dgn di kita. Kalo di kita mah positif, kalo di sini nasionalisme terkait sama fasis dan nazi tea. Orang sini yg terlalu nasionalis, biasanya fasis/neo-nazi -_-. Peringatan2 kyk gitu setauku cuma peringatan hari penyatuan Jerman.
      Tapi pendidikan karakternya yg bagus. Dari sejak TK serius ditanamkan kejujuran, membantu orang lain, patuh aturan, dan kerja keras. Buat anak2 penerapannya yg sederhana kyk: kalo pake sepeda atau otopet pake helm, bantu bukain pintu, dll. Menarik juga ini..hubungan upacara bendera (nasionalisme) dan parenting (memperbaiki negara mulai dr rumah)! --Tatat

      Delete
  4. oya, jadi inget saya punya banyak opa dan oma yang asli dan cinta Indonesia tapi mereka terhalang pulang ke tanah air karena paspornya dicabut pemerintah Suharto.
    Kami sering share pengalaman, dan semua kisah terkait nasionalisme.
    Saya mengenal mereka, di milis hingga sekarang masih suka curhat-curhatan. Sebagian sih udah meninggal dunia. Sedih yang rasakan bagi saya mereka ingin mati dan dikubur di kampung halaman, namun mereka terlarang pulang...

    Salam ti Cianjur, Teh...
    Okti

    ReplyDelete
    Replies
    1. Teh Okti di Taiwan apa di Hongkong? Wah..ternyata banyak juga ya para korban Orde Baru 1965 di sana. Sayapun sedih kalo denger cerita mereka Teh.. Kebayang kalo pengen ngunjungin keluarga, tapi ga bisa :( -- Tatat

      Delete
  5. Menarik euy ceritanya, terutama yang dibagian komen bales ambu ien, hehehe. Upacara bendera gak terlalu signifikan buat menumbuhkan nasionalisme memang yaaa.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tadinya pengen lanjutin di tulisan, tapi asa panjang teuing -_-.
      Iya..nasionalisme hasil dari upacara bendera rutin menurut saya mah "nasionalisme yg seremonial" aja jadinya. Abstrak.

      Delete
  6. Saudara ck yg tinggal di jerman juga nasionalisme nya jadi bagus banget. Dia aktif memperkenalkan budaya indonesia lewat tarian dan nyanyian. Katanya... dengan melihat budaya kita diterima,merasa ada di tanah air sendiri.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul Teh Chika...ada kebanggaan tersendiri gtu..kita jadi merasa kayak duta bangsa..hihi..

      Delete
  7. jadi bener banget ya Mbak, pribahasa itu.
    huaaa pasti terharu banget ya Mbak upacara di rantau gitu.

    Nasionalisme kita jadi muncul yah :D

    ReplyDelete
  8. Wah... seru ya ikutan upacara di negeri orang. Jiwa nasionalisme jadi menguat...
    btw kalo di Jerman upacara tujuh belasannya mulai jam brp ya? menyeseuaikan dgn jam indo/nggak?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Harinya pun biasanya ga pas tgl 17 Agustus mba, kecuali kalo 17 agustusnya pas akhir pekan. Kami 17annya fleksibel ngikutin mayoritas orang bisanya kapan. Jamnya menyesuaikan.
      Kecuali kalo ikut upacara 17an di KBRI atau KJRI, biasanya mulai jam 10 pagi.

      Delete
  9. Dari lama sebenernya udah lelah dengan aneka seremoni ini~
    Asalnya mau bikin tulisan serius tentang itu. Tapi mending bikin tulisan yang ringan dan lucu aja wehhhhh supaya hati tetap riang gembira. Yakan!

    Aku suka ih lagunya. Merinding dengernya boooo~

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul teh Anil..terlalu serius bisi bosen yg baca ngke. Lagunya top emang..kalo lagi homesick bisa langsung berderai air mata :))

      Delete
  10. Ternyata sama teh, hal-hal sepele yang dulu kita anggap kewajiban seperti ikut upacara bendera, ketika sudah berada di negeri yang jauh, menjadi hal yang paling berarti. Menarik banget kisahnya teh.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya..hehe..kalo lagi jauh gini inget hal-hal kecil di Indonesia yang dulu terasa menyebalkan jadi bikin mellow :D.

      makasih udah mampir :)

      Delete