Pages

SEMARANG … Hiruk Pikuk Modernitas dalam Kebisuan Sejarah


Semarang. Saya sebenarnya bingung mengungkapkan kesan saya terhadap Semarang. Di satu sisi, kesan yang saya dapatkan dari kota ini, adalah kota yang ‘sepi’, individualis, sibuk, tapi juga menyimpan banyak bangunan bersejarah. Mungkin seperti sebuah kota yang bercerita dalam diam.

Saya pergi ke Semarang diantara perjalanan saya di Yogyakarta. Saat itu tahun 2008, saya menumpang bus ac dari Yogyakarta pada pagi hari, sekitar jam 6 pagi dan tiba sekitar pukul 9 pagi. Dalam perjalanan singkat saya di Semarang, dua hari satu malam, lumayan banyak tempat yang saya kunjungi. Semarang kental dengan pengaruh budaya etnis tionghoa. Saya sempat mampir ke Pagoda Buddhagaya Watugong dan Kuil Sam Poo Kong, dua tempat ini menarik sekali untuk dikunjungi, baik dari segi arsitektural hingga kenyamanan tempatnya. Waktu saya mengungjungi kedua tempat ini, kondisi sedang sepi sehingga saya leluasa untuk berkeliling. Memang ada beberapa tempat yang dianggap ‘suci’ dan tidak sembarang orang bisa masuk. Tapi itu sudah sangat memuaskan dan mengesankan buat Saya.

Patung Laksamana Cheng Ho yang 
pernah singgah di Semarang

Setelah dari kedua tempat itu, saya lantas berkunjung ke  Lawang Sewu, lokasi wisata paling terkenal yang ada di Kota Semarang, pada saat saya mengunjungi Lawang Sewu, kondisinya masih kurang terawat. Mungkin karena renovasi belum selesai dilakukan. Arsitekturalnya kental dengan gaya Belanda. Bangunan ini memang kaya akan pintu dan jendela. Namun, walaupun terdapat banyak jendela, terdapat beberapa spot  yang terkesan gelap dan suram. Pemandu yang bercerita  bahwa bangunan ini beberapa kali berganti fungsi, mulai dari gedung administratif, tempat penahanan tawanan, tempat penyiksaan (penjara di bawah lawang sewu lengkap dengan rantai batu), hingga cerita tentang sungai di sisi Lawang Sewu yang pernah dijadikan tempat pembuangan mayat korban perang. Pemandu pun menawarkan kepada Saya dan teman-teman untuk berwisata di malam hari biar lebih terasa menegangkan, teman saya kemudian memang datang lagi hanya untuk menikmati wisata malam di Lawang Sewu. Berani coba?





Sedikit suram namun tampilan kaca pada jendelanya, cantik! 
Hari sudah mendekati senja saat Saya selesai mengungjungi Lawang Sewu, Masjid Agung Jawa Tengah menjadi tujuan saya berikutnya. Masjid ini memang lumayan jauh dari pusat kota, saya menempuhnya dengan menggunakan taxi. Bangunan masjid dengan menara dan payung-payung besar yang bisa membuka dan menutup sedikit mengingatkan akan kemegahan bangunan Masjid Al-Nabawy. Sayangnya saya tiba saat matahari tenggelam sehingga saya tidak dapat menikmati sepenuhnya pemandangan Kota Semarang dengan teropong yang terdapat di menara masjid, yang terlihat hanya kerlap kerlip cahaya lampu kota.

Esok harinya, pagi-pagi sekali saya bergegas menuju Kota Lama Semarang. Sebenarnya, banyak hal yang bisa dinikmati di Kota Lama ini, mulai dari gereja tua yang biasa disebut Gereja Blendug karena bentuk atapnya yang besar, Stasiun Kereta Api Tawang, komplek pertokoan tua, komplek perkantoran tua, tempat penampungan air – Polder Tawang, dan banyak hal lainnya. Saya menyusuri komplek Kota Lama yang sepi dan menyayangkan bahwa kompleks wisata seindah ini terlihat diacuhkah.Seandainya Pemkot  Semarang lebih menaruh perhatian dan merenovasi Kota Lama, pasti suasananya akan lebih menyenangkan. Hiruk pikuk baru mulai terasa saat saya tiba di Pasar Johar, pasar tradisional yang terkenal di Semarang. Pendapat saya tentang pasar ini, terkesan kotor dan acak-acakan.

Perjalanan saya di Kota Semarang berakhir di Kota Lama. Beberapa sajian kuliner Semarang sempat saya cicipi, seperti : soto semarang, tahu gimbal, lumpia, bandeng presto, dan nasi goreng kambing. Rasanya menikmati kuliner lokal seperti sebuah keharusan buat saya jika melakukan perjalanan wisata. Bagaimana pun juga, kuliner merupakan bagian dari budaya dan mencicipi keunikan kuliner dari setiap daerah adalah juga suatu pengalaman yang berharga.

Semarang lagi mungkin. Next time.





No comments:

Post a Comment